Graffiti Creator
Lakawa Sumba
Rabu, 05 Februari 2014
Sabtu, 21 Desember 2013
Rabu, 04 Desember 2013
Pasola
: Ini adalah bagian dari serangkaian upacara tradisionil yang dilakukan oleh
orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Setiap tahun
pada bulan Februari atau Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka
memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik.
Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya
adalah apa yang disebut pasola. Pasola adalah ‘perang-perangan’ yang dilakukan
oleh dua kelompok berkuda. Setiap kelompok teridiri atas lebih dari 100 pemuda
bersenjakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira1,5 cm yang
ujungnya dibiarkan tumpul. Walaupun tombak tersebut tumpul, pasola
kadang-kadang memakan korban bahkan korban jiwa. Tapi
tidak ada dendam dalam pasola, kalau masih penasaran silakan tunggu sampai
pasola tahun depannya. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan
Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah
melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.
Pasola,
Tragedi Asmara di Padang Savana
Membedah pulau Sumba terbesit
pesan Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya
tersimpan persembahan dan pujian para abdi. Nama Sumba atau Humba berasal dari
nama ibu model Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak
landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba.
Dua
pertiga penduduknya adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para
leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal semua suku.
Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam agung
para Merapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap
jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme
itu.
Sumba,
pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar yang kuat yang tak kenal
lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhur. Binatang
unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya perang akbar pasola,
perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri nyale,
si putri cantik yang menjelma diri dalam ujud cacing laut yang nikmat gurih.
Pasola
berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti sejenis lembing kayu yang
dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh
dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola),
artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan
ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang
dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola diselenggarakan di
Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan
bulan Maret di Wanokaka. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan
oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan
oleh masyarakat umum.
Sedangkan
peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus
menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing
(hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam
rangka pesta nyale.
Skandal Janda Cantik
Menelurusi
asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba
sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada tiga
bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga
Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan
pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari
kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga
bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan
dengan belasungkawa atas kepergian kematian para pemimpin mereka.
Dalam
kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum’ Umbu Dulla, Rabu Kaba
mendapat lapangan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka
terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.
Namun
adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang
tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik
jelita Rabu Kaba diboyong sang gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya.
Sementara ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung. Warga Waiwuang
menyambutnya dengan penuh sukacita.
Namun
mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal
istrinya. ‘Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi,’
jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk
mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung
Bodu Hula.
Walaupun
berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu Kaba yang
telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Ia meminta
pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari
keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis
pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan
pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
Pada
akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang
agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka
karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun
warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula)
nyale dan pesta pasola.
Akar
pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola
tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian
penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada
sang leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk
pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus
religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat
jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa
(puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama
yang terlibat dalam pasola.
Sedangkan
sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran
bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola, darah yang
tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila
terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti
pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang
pasola.
Pada
tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui
`bellum pacificum’ perang damai dalam permainan pasola. Peristiwa minggatnya
janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari
istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi
peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang
dan terutama Umbu Dulla yang punya istri. Keluarga Waiwuang sudah pasti berang
besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga
Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan
menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan
kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen,
sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu
Kaba. Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara
dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis
apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagu kedua
kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola. Selama pasola berlangsung
semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama,
bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan
para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing.
Karena itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat
menjalin persahabatan dan persaudaraan. Sebagai sebuah pentas budaya sudah
pasti pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Olehnya
pemerintah turut mendukung dengan menjadikan pasola sebagai salah satu ‘mayor
event’.
Kain
Ikat : Pulau Sumba
terkenal dengan kain ikatnya yang indah dan unik, kain ikat tersebut ditenun
selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Kain ikat yang baik mempunyai
nilai tradisionil dan ekonomi yang tinggi sekali. Selembar kain ikat Sumba yang
baik dapat mencapai jutaan rupiah.
Kain
ikat atau kain tenun ini dibuat dari kapas atau benang katun yang diwanteks,
kadang-kadang proses mewainai benang yang akan di tenun itu dilakukan dengan
sangat tradisonil yaitu dengan menanamnya kedalam tanah untuk beberapa minggu
sebelum di tenun. Secara tradisional hanya wanita Sumba yang diperbolehkan
menenun kain. Upacara penguburan dan kuburan batu: Salah satu dari sekian
banyak keunikan yang terdapat di Sumba adalah upacara penguburan mayatnya yang
dilakukan secara besar-besaran dan bentuk kuburan batunya yang unik.
Orang
Sumba percaya bahwa kehidupan dan kematian adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, kematian seseorang adalah hal yang sama penting dengan
kehidupannya. Dan seluruh proses kehidupan dan kematian tidak bisa dipisahkan
dengan ternak mereka (kerbau, sapi, kuda dan babi). Hewan mempunyai nilai
tradisional yang sangat tinggi, dan memegang peranan yang penting dalam
perkawinan atau pesta adat. Kalau seorang pria mempersunting wanita Sumba, dia
harus membayar mas kawin berupa kerbau, kuda atau sapi yang jumlahnya
tergantung dari kedudukan ayah atau keluarga wanita tersebut dalam masyarakat,
tetapi jumlah tersebut sekitar 50 sampai 400 ekor bahkan lebih.
Begitu
pula kalau ada anggota keluarga yang meninggal, pada saat penguburan,
berpuluh-puluh hewan disembeli, jumlah hewan yang disembeli juga tergantung
pada kedudukan orang yang meninggal atau keluarganya dalam masyarakat.
Bentuk
kuburan orang Sumba juga unik, terbuat dari batu berbentuk kotak besar dengan
tutup yang juga terbuat dari batu (lihat foto). Setiap keluarga bisanya punya
sebuah batu kubur, jadi kalau ada anggota keluarga yang meninggal bisanya
dikuburkan dalam batu kubur yang disediakan untuk semua anggota keluarga itu.
Langganan:
Postingan (Atom)